Tenaga kesehatan maupun non kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) seperti Puskesmas dan Rumah Sakit dapat terpajan bakteri TB akibat kontak dengan pasien TB yang tidak terdiagnosis. Potensi transmisi penyakit ini dapat terjadi di semua lokasi kerja dalam fasyankes. Pada lokasi kerja seperti ruang gawat darurat, pajanan dapat terjadi sebelum pasien TB yang infeksius dikenali dan diisolasi, dan pasien TB yang infeksius tersebut dapat tetap tanpa gejala (asimptomatik) untuk beberapa waktu.
Di rumah sakit, daerah berisiko tinggi terjadi transmisi TB adalah:
- ruang gawat darurat
- bangsal perawatan pasien TB
- tempat pengambilan dahak
- tempat dilakukan tindakan bronkoskopi.
- bronkoskopi
- induksi dahak
- intubasi endotrakeal
- respiratory suction
- otopsi
Pencegahan transmisi TB di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) memerlukan identifikasi dini, isolasi, dan pengobatan pasien dengan penyakit TB aktif.
Strategi pengendalian infeksi untuk mengurangi transmisi TB tergantung pada:
- prevalensi TB aktif pada populasi umum dan pasien
- ketersediaan sumber daya untuk mengimplementasikan program pengendalian.
Pengendalian administrasi
Pengendalian administrasi merupakan tingkat pengendalian TB pertama dan paling penting di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). Beberapa tindakan pengendalian administrasi yang dapat dilakukan adalah:
- Menugaskan petugas pencegahan dan pengendalian infeksi yang bertanggungjawab untuk pembentukan, penegakan, dan penilaian kebijakan pengendalian infeksi TB.
- Melakukan penilaian risiko TB di fasyankes antara lain:
- menentukan jumlah pasien TB yang dirawat di fasyankes
- jumlah waktu yang dihabiskan pasien TB di berbagai area fasyankes (seperti ruang gawat darurat, ruang tunggu, atau bangsal)
- prevalensi HIV di antara pekerja di fasyankes dan pasien
- peran khusus pekerja di fasyankes
- potensi pajanan pekerja di fasyankes terhadap droplet infeksius
- Membuat dan menerapkan kebijakan pengendalian infeksi tuberkulosis untuk menjamin deteksi, isolasi, dan pengobatan yang tepat waktu bagi individu yang diduga atau terbukti tuberkulosis.
- Mempertahankan penegakan dan pendidikan berkelanjutan untuk pekerja di fasyankes setelah kebijakan ditetapkan dan diterapkan, karena kepatuhan terhadap langkah-langkah pengendalian TB menurun dari waktu ke waktu tanpa pendidikan dan pemantauan berkelanjutan.
- Menilai pemanfaatan fasilitas saat ini dan kebutuhan renovasi atau pembangunan area baru agar implementasi pengendalian yang lebih efektif.
- Memastikan pengujian laboratorium yang cepat, pemrosesan spesimen, dan pelaporan, dengan fokus pada tes diagnostik cepat yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
- Memastikan peralatan yang berpotensi terkontaminasi (misalnya, endoskopi) dibersihkan dan didesinfeksi dengan benar.
- Secara aktif memantau tenaga kesehatan (nakes) untuk penyakit tuberkulosis aktif. Pertimbangkan untuk melakukan skrining TB laten pada nakes dan perawatan bagi yang ditemukan positif.
- Membuat program pelatihan untuk semua pekerja di fasyankes. Ini harus mencakup informasi tentang penularan TB, mengenali tanda dan gejala TB aktif, memahami hubungan antara TB dan HIV, dan strategi pengendalian yang ada untuk mencegah penularan TB ke tenaga kesehatan dan pasien.
- Menawarkan tes HIV kepada pekerja di fasyankes. Tenaga kesehatan HIV-positif harus meminimalkan waktu yang dihabiskan di lokasi berisiko tinggi terjadinya penularan TB (misalnya, unit gawat darurat, bangsal TB, area pengumpulan dahak, dan ruang bronkoskopi), melakukan skrining rutin untuk TB aktif, dan memberikan akses ke terapi antiretroviral dan terapi pencegahan isoniazid.
- Identifikasi pasien dengan gejala TB sesegera mungkin dan pisahkan dari pasien lain, termasuk pasien dengan TB aktif, sampai tes dahak dapat dilakukan, sebaiknya menggunakan tes diagnostik cepat yang direkomendasikan WHO. Kriteria gejala triase spesifik akan bervariasi tergantung pada pengaturan dan demografi pasien, tetapi harus mencakup batuk yang berlangsung lebih dari dua minggu, hemoptisis, demam, penurunan berat badan, dan keringat malam.
- Memisahkan pasien dengan tuberkulosis aktif dari pasien lain, terutama yang diketahui atau diduga HIV. Kriteria khusus untuk isolasi (mis., BTA positif, status kultur) akan bervariasi menurut lokasi dan kelompok pasien. Pasien dengan TB-MDR dan tuberkulosis yang resistan terhadap obat (XDRTB) harus dipisahkan dari pasien lain, termasuk TB yang sensitif terhadap obat, karena penularan dapat terjadi antar kelompok. Metode kohort dapat digunakan jika ruang isolasi individu tidak tersedia.
- Melanjutkan isolasi individu dengan tuberkulosis aktif menggunakan isolasi airborne sampai mereka tidak lagi menular.
- Selama triase, ajari pasien suspek atau konfirmasi tuberkulosis tentang kebersihan pernapasan dan etika batuk. Saat batuk atau bersin, mereka harus diberi masker bedah, tisu, atau handuk dan diinstruksikan untuk memalingkan kepala dan menutup mulut.
- Memulai terapi anti-TB pada pasien dengan TB aktif sesegera mungkin, mengikuti pedoman pengobatan yang dikeluarkan oleh kementerian kesehatan (Kemenkes).
- Untuk menandai ruang isolasi dan mempromosikan etiket batuk, gunakan tanda yang sesuai.
Pengendalian lingkungan
Pengendalian lingkungan adalah prosedur yang menghambat penyebaran droplet nuklei infeksius dan mengurangi konsentrasi droplet nuklei infeksius di udara ambien.
Ventilasi yang memadai di lingkungan rumah sakit sangat penting untuk mengurangi penyebaran TB dan penyakit yang ditularkan melalui udara lainnya. Tempat-tempat penularan yang berisiko tinggi, seperti ruang gawat darurat, ruang tunggu, tempat pengumpulan dahak, bangsal TB, area operasi, dan ruang isolasi TB, harus mendapat perhatian khusus.
Beberapa sistem ventilasi yang mungkin dapat diterapkan adalah ventilasi alami, mekanis, dan campuran. Pemilihan sistem ventilasi yang akan diterapkan didasarkan pada penilaian fasilitas dan mempertimbangkan faktor-faktor seperti program/kebijakan lokal, meteorologi, dan sosial ekonomi. Setiap sistem ventilasi harus dipantau dan dipelihara secara teratur. Terlepas dari jenis sistem ventilasi yang digunakan, desain harus bertujuan untuk menghasilkan pengenceran udara yang cukup dengan mengarahkan aliran udara dari sumber potensi kontaminasi ke titik pembuangan udara atau tempat yang jauh dari pasien lain.
Pasien TB dan mereka yang menjalani evaluasi TB harus diisolasi di ruang AII (airborne infection isolation) jika memungkinkan. Ruang isolasi tersebut dibuat dengan tekanan negatif sehingga udara mengalir dari koridor ke dalam ruangan, bukan sebaliknya. Ruangan tersebut sebaiknya berventilasi mekanis dengan kecepatan minimal 12 kali pergantian udara per jam (air change per hour (ACH)). Dengan demikian petugas perlu mengukur dan mengevaluasi aliran udara dan pertukaran udara secara teratur.
Jika sumber daya memungkinkan, udara dari ruang isolasi TB harus dibuang ke luar, jauh dari tempat asupan udara ke dalam AHU (air handling unit), jauh dari ruang tunggu, atau disaring melalui penyaring partikulat efisiensi tinggi (high efficiency particulate air (HEPA) filter) sebelum diedarkan kembali dalam sistem ventilasi mekanis tertutup.
Penyaring atau filter HEPA menghilangkan 99,7% partikel yang lebih besar dari atau sama dengan 0,3 μm. Droplet nuklei M. tuberculosis ukuran mulai dari 1 μm hingga 5 μm sehingga dapat dihilangkan menggunakan filtrasi.
Jika sumber daya dan keterampilan memungkinkan, pertimbangkan untuk menggunakan iradiasi kuman ultraviolet (ultraviolet germicidal irradiation (UVGI)). Tujuan UVGI adalah untuk menonaktifkan droplet nuklei di udara. Penempatan lampu ultraviolet (UV) yang umum adalah:
- UVGI ruang atas
- UVGI dalam saluran di air handling unit (AHU)
Hasil penelitian pada ruang uji yang memiliki ventilasi sekitar 10-20 ACH dan menggunakan iradiasi ultraviolet ruang atas yang dirancang dengan baik dapat mendisinfeksi Mycobacteria atau kuman lainnya.
Untuk mensterilkan udara yang dikeluarkan dari ruang isolasi TB, digunakan iradiasi saluran. UVGI tidak boleh digunakan sebagai pengganti filter HEPA atau sistem ventilasi yang lebih baik. Karena sistem ini mungkin berbahaya jika tidak dibuat dengan tepat, sistem ini harus dirancang dan dipasang oleh insinyur dan teknisi yang berkualifikasi.
Alat pelindung diri
Saat merawat pasien dengan infeksi atau suspek TB aktif, semua staf layanan kesehatan harus menggunakan respirator partikulat N95, terutama selama prosedur berisiko tinggi seperti induksi sputum, intubasi, atau bronkoskopi. Pastikan bahwa respirator sudah terpasang dengan benar. Ketika diterapkan dengan benar dengan penutup wajah yang rapat, masker N95 menyaring 95% partikel berukuran 1 μm.
Masker bedah berguna bagi pasien TB untuk membatasi jumlah partikel menular di udara, tetapi masker ini hanya memiliki efisiensi filter 50% dan tidak memiliki penutup wajah yang kuat, sehingga tidak boleh digunakan sebagai pengganti masker N95 oleh petugas kesehatan.
Komentar
Posting Komentar