Langsung ke konten utama

Kelebihan berat badan dan obesitas

Untuk mengetahui apakah individu mengalami kelebihan berat badan adalah dengan menghitung indeks massa tubuh (IMT) menggunakan rumus berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m) kwadrat, sehingga satuan IMT adalah kg/m2. Terdapat dua jenis penggolongan hasil perhitungan IMT, yaitu menurut WHO (World Health Organization) dan asia pasifik

Pada 2018, penduduk dewasa Indonesia yang memiliki IMT kelebihan berat badan adalah 13,6 dan obesitas adalah 21,8%, sehingga total penduduk dewasa yang memiliki IMT kelebihan berat badan dan obesitas adalah 35,4%, artinya sekitar 1 dari 3 penduduk dewasa mengalami masalah kelebihan gizi

Kecenderungan individu untuk mengalami kelebihan berat badan dan obesitas berkaitan dengan beberapa faktor sosio-demografi seperti:

  • Lebih umum dijumpai di perkotaan daripada pedesaan
  • Pekerjaan yang tak menuntut banyak gerak 
  • Aktivitas fisik yang lebih rendah pada waktu luang
  • Perempuan
  • Tingkat kesejahteraan rumah tangga
  • Jenis industri tempat bekerja
Menurut hasil studi yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, prevalensi obesitas pada pekerja di industri minyak dan gas lebih tinggi dari pada populasi umum. 

Obesitas bukan penyakit akibat kerja, tetapi karena tingginya prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas menimbulkan tantangan bagi praktisi kesehatan kerja untuk juga mengatasi permasalahan ini. Paling tidak terdapat empat topik yang saling berhubungan patut dipertimbangkan, yaitu:
  1. Obesitas memiliki biaya sosial yang sangat besar dalam hal kesejahteraan yang lebih rendah dan hilangnya nyawa manusia
  2. Perawatan dan pengobatan individu dengan gangguan yang berhubungan dengan obesitas membutuhkan biaya yang sangat besar
  3. Obesitas berdampak negatif pada pengeluaran bisnis dengan menurunkan produktivitas pekerja dan meningkatkan permintaan akan layanan pendukung dan manajemen disabilitas. 
  4. Lingkungan tempat kerja dapat berkontribusi pada peningkatan kelebihan berat badan dan obesitas, akan tetapi juga dapat memberikan kemungkinan untuk mengatasi masalah tersebut.

Dampak kesehatan langsung dari obesitas antara lain:
  • Obesitas merupakan faktor risiko yang signifikan untuk penyakit kardiovaskular dan kematian
  • Obesitas meningkatkan prevalensi dan keparahan faktor risiko kardiovaskular seperti:
    • diabetes tipe II
    • kolesterol nonHDL tinggi
    • kolesterol HDL rendah, 
    • hipertensi sistolik dan diastolik
  • Obesitas terkait dengan peningkatan risiko kejadian koroner (serangan jantung) yang fatal, terlepas dari faktor risiko lainnya. Akibatnya, obesitas berkontribusi secara signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada populasi pekerja.
  • Obesitas merupakan faktor risiko berbagai gangguan serius lainnya:
    • perlemakan hati dan sirosis 
    • gagal ginjal kronis 
    • osteoartritis 
    • apnea tidur obstruktif
Hasil penelitian terkait dampak negatif obesitas bagi tempat kerja antara lain:
  • Obesitas terkait dengan tingkat ketidakhadiran yang jauh lebih tinggi (yaitu kehilangan lebih banyak hari kerja) dan presenteeism. Pekerja obesitas mengambil lebih banyak cuti sakit, istirahat sakit lebih lama, dan kehilangan lebih banyak produktivitas daripada pekerja non-obesitas. 
  • Obesitas juga meningkatkan biaya kompensasi pekerja. Pekerja obesitas mengajukan lebih banyak klaim kompensasi, memiliki klaim lebih mahal, dan melewatkan lebih banyak hari kerja daripada pekerja non-obesitas. 

Beberapa kondisi kerja yang dicurigai mendorong terjadinya obesitas adalah  stres di tempat kerja, kerja shift, dan jam kerja yang panjang; akan tetapi belum ada bukti ilmiah yang konklusif. 

Obesitas di tempat kerja merupakan masalah kesehatan masyarakat, bukan merupakan penyakit akibat kerja. Profesional kesehatan kerja harus terlibat secara aktif dalam masalah ini. Ada banyak strategi intervensi yang tersedia, misalnya dengan menerapkan program untuk mendukung penurunan berat badan dan mempertahankan berat badan yang direkomendasikan, serta mendorong olahraga dan mempromosikan pola makan yang sehat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jumlah sampel minimum pengukuran pajanan di lingkungan kerja

Untuk membuktikan bahwa kadar pajanan di tempat kerja tidak melewati nilai ambang batas (NAB) kemungkinan akan memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit.  Dalam Permenaker nomor 5 tahun 2018 maupun Permenkes nomor 70 tahun 2016 tidak ada ketentuan mengenai jumlah sampel minimum. Dalam permenkes nomor 70 tahun 2016 hanya disebutkan bahwa jumlah sampel sebagai bagian dari proses pengukuran harus dilakukan sesuai dengan standar.  Jumlah sampel minimum menurut NIOSH cukup banyak seperti terlihat pada gambar di bawah ini.  Untuk mengurangi jumlah sampel minimum yang diperlukan, dapat dilakukan dengan strategi sebagai berikut: Membagi pekerja ke dalam  similarly exposed group  (SEG). Pengukuran pajanan personal dilakukan dalam 3 tahap: Tahap skrining Tahap uji kepatuhan kelompok Tahap uji kepatuhan individu Pada tahap skrining dilakukan tiga pengukuran pajanan personal  secara acak dari pekerja dalam SEG. Jika  ketiga pajanan kurang dari 0,1...
Penyakit/gangguan muskuloskeletal terkait kerja Muskuloskeletal maksudnya otot dan rangka. Menurut HSE, di Inggris, sekitar setengah juta pekerja mengalami penyakit/gangguan otot rangka terkait kerja (baik kasus baru maupun kasus lama) pada tahun 2015/16. Dan penyakit/gangguan otot rangka yang mempengaruhi kualitas hidup pekerja yang mengalaminya ini merupakan penyakit/gangguan terkait kerja yang jumlahnya banyak, sekitar 41% dari seluruh penyakit/gangguan terkait kerja. (https://t.co/DloQPGuwea).  Bagaimana dengan data di Indonesia? Di Indonesia belum ada data pasti mengenai penyakit akibat kerja. Tetapi diperkirakan persentase penyakit/gangguan muskuloskeletal terkait kerja hampir sama. Tetapi umumnya tidak dikenali. Mengapa? Karena seringkali keluhan pegal linu, nyeri, kram, baal, kesemutan dll setelah bekerja dianggap biasa. Pasien umumnya mengobati sendiri, kalaupun berobat ke dokter biasanya tidak terdiagnosis kaitannya antara keluhan pasien dengan pekerjaannya. ...

Variabilitas pajanan bahan kimia di tempat kerja

Pajanan bahan kimia pada pekerja di lingkungan kerja sangat bervariasi: dari hari ke hari dari satu pekerja ke pekerja lain dari satu kelompok pekerja ke kelompok pekerja lain.  Bahkan dalam satu shift kerja, pajanan bervariasi dari menit ke menit. Variasi ini terjadi akibat perubahan dalam faktor seperti: laju pembentukan kontaminan tingkat ventilasi aktivitas yang dilakukan oleh pekerja.  Variabilitas ini memengaruhi jumlah sampel yang dibutuhkan untuk sepenuhnya mengkarakterisasi variasi tersebut di atas dan kemampuan skema penilaian yang ada untuk membandingkan kelompok pekerja yang berbeda atau membandingkan pajanan terhadap nilai ambang batas (NAB).  Satu pendekatan yang dilakukan untuk menangani masalah variabilitas dalam pajanan pekerja adalah dengan mengelompokkan pekerja ke dalam similarly exposure groups (SEGs) , yang dapat dilakukan dengan: Pendekatan kualitatif Pendekatan kuantitatif Pendekatan kualitatif Pengelompokkan pekerja ke dalam SEGs dilakukan denga...