Langsung ke konten utama

Sickness presenteeism

Sickness presenteeism memiliki berbagai definisi yang berbeda-beda, tetapi definisi yang paling umum adalah situasi di mana individu terus bekerja ketika sakit dan tidak melakukan pekerjaan dengan potensi penuh. Singkatnya, sickness presenteeism (SP) adalah masuk kerja saat sakit. SP dapat berdampak pada kehilangan produktivitas. Diperkirakan bahwa angka kejadian dan biaya akibat SP ini jauh lebih tinggi dibandingkan cuti sakit. 

Beberapa faktor yang memengaruhi apakah individu akan terus bekerja dalam keadaan sakit antara lain:

  • Jenis penyakit atau gangguan kesehatan dan cedera yang dialami
  • Durasi mengalami gangguan kesehatan
  • Tingkat ketidakmampuan melaksanakan tugas pekerjaan 
  • Tingkat merasa mampu memenuhi kewajiban tugas pekerjaan 
  • Jumlah cuti sakit yang sudah terjadi 
Jenis penyakit atau gangguan kesehatan yang sering menyebabkan SP adalah sama seperti cuti sakit, yaitu: 
  • Penyakit akut (misalnya: batuk, pilek, alergi, dan masalah saluran pencernaan)
  • Penyakit kronik (misalnya: radang sendi, gangguan otot dan rangka atau muskuloskeletal)
  • Masalah kesehatan mental umum (misalnya: depresi, insomnia)
  • Gaya hidup (misalnya: kurang aktivitas fisik, pola makan yang buruk, kebiasaan merokok)
Beberapa faktor terkait pekerjaan yang memengaruhi terjadinya SP antara lain:
  • Standar kehadiran yang ketat 
  • Staf dengan jabatan manajemen
    • Beranggapan bahwa mereka perlu memberi contoh tingkat kehadiran yang baik bagi bawahan.
    • Beranggapan bahwa mengambil cuti untuk pulih dari sakit ringan sebagai hal yang mengurangi kredibilitas.
  • Pekerja white collar
  • Wiraswastawan
    • Berkurangnya pendapatan jika tidak masuk kerja
    • Merasa kehadirannya sangat diperlukan dalam proses bisnis sehari-hari
    • Merasa bertanggung jawab atas mata pencaharian pekerjanya

Pengukuran SP dan dampaknya pada produktivitas berbeda dengan cuti sakit. Pihak manajemen dapat mengukur cuti sakit dan dampaknya pada produktivitas dengan mudah karena jelas pekerja yang sakit tidak hadir di tempat kerja dan mungkin memiliki surat keterangan sakit dari dokter dan tercatat secara resmi. SP merupakan perilaku yang tidak terlihat. Pengukuran SP bersifat subyektif karena bergantung pada penilaian pekerja sendiri, tidak ada sumber eksternal yang kredibel untuk mengukur frekuensi atau durasi SP. 

Untuk mengetahui prevalensi SP dilakukan dengan survei. Terdapat berbagai jenis instrumen atau skala untuk mengukur SP dan dampaknya pada produktivitas. Berbagai jenis skala pengukuran tersebut berbeda-beda dalam hal 

  • Panjang skala
    • Item tunggal
    • Beberapa item (misalnya: Stanford Presenteeism Scale)
  • Spesifik untuk penyakit tertentu atau generik
  • Durasi ingatan
    • Satu minggu sebelumnya
    • Empat minggu sebelumnya
    • Dua bulan
    • Enam bulan
    • Dua belas bulan. 
Semakin lama durasi ingatan yang digunakan, maka terdapat kemungkinan semakin tinggi bias ingatan, yang dapat mengurangi presisi dan akurasi data SP.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jumlah sampel minimum pengukuran pajanan di lingkungan kerja

Untuk membuktikan bahwa kadar pajanan di tempat kerja tidak melewati nilai ambang batas (NAB) kemungkinan akan memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit.  Dalam Permenaker nomor 5 tahun 2018 maupun Permenkes nomor 70 tahun 2016 tidak ada ketentuan mengenai jumlah sampel minimum. Dalam permenkes nomor 70 tahun 2016 hanya disebutkan bahwa jumlah sampel sebagai bagian dari proses pengukuran harus dilakukan sesuai dengan standar.  Jumlah sampel minimum menurut NIOSH cukup banyak seperti terlihat pada gambar di bawah ini.  Untuk mengurangi jumlah sampel minimum yang diperlukan, dapat dilakukan dengan strategi sebagai berikut: Membagi pekerja ke dalam  similarly exposed group  (SEG). Pengukuran pajanan personal dilakukan dalam 3 tahap: Tahap skrining Tahap uji kepatuhan kelompok Tahap uji kepatuhan individu Pada tahap skrining dilakukan tiga pengukuran pajanan personal  secara acak dari pekerja dalam SEG. Jika  ketiga pajanan kurang dari 0,1...
Penyakit/gangguan muskuloskeletal terkait kerja Muskuloskeletal maksudnya otot dan rangka. Menurut HSE, di Inggris, sekitar setengah juta pekerja mengalami penyakit/gangguan otot rangka terkait kerja (baik kasus baru maupun kasus lama) pada tahun 2015/16. Dan penyakit/gangguan otot rangka yang mempengaruhi kualitas hidup pekerja yang mengalaminya ini merupakan penyakit/gangguan terkait kerja yang jumlahnya banyak, sekitar 41% dari seluruh penyakit/gangguan terkait kerja. (https://t.co/DloQPGuwea).  Bagaimana dengan data di Indonesia? Di Indonesia belum ada data pasti mengenai penyakit akibat kerja. Tetapi diperkirakan persentase penyakit/gangguan muskuloskeletal terkait kerja hampir sama. Tetapi umumnya tidak dikenali. Mengapa? Karena seringkali keluhan pegal linu, nyeri, kram, baal, kesemutan dll setelah bekerja dianggap biasa. Pasien umumnya mengobati sendiri, kalaupun berobat ke dokter biasanya tidak terdiagnosis kaitannya antara keluhan pasien dengan pekerjaannya. ...

Variabilitas pajanan bahan kimia di tempat kerja

Pajanan bahan kimia pada pekerja di lingkungan kerja sangat bervariasi: dari hari ke hari dari satu pekerja ke pekerja lain dari satu kelompok pekerja ke kelompok pekerja lain.  Bahkan dalam satu shift kerja, pajanan bervariasi dari menit ke menit. Variasi ini terjadi akibat perubahan dalam faktor seperti: laju pembentukan kontaminan tingkat ventilasi aktivitas yang dilakukan oleh pekerja.  Variabilitas ini memengaruhi jumlah sampel yang dibutuhkan untuk sepenuhnya mengkarakterisasi variasi tersebut di atas dan kemampuan skema penilaian yang ada untuk membandingkan kelompok pekerja yang berbeda atau membandingkan pajanan terhadap nilai ambang batas (NAB).  Satu pendekatan yang dilakukan untuk menangani masalah variabilitas dalam pajanan pekerja adalah dengan mengelompokkan pekerja ke dalam similarly exposure groups (SEGs) , yang dapat dilakukan dengan: Pendekatan kualitatif Pendekatan kuantitatif Pendekatan kualitatif Pengelompokkan pekerja ke dalam SEGs dilakukan denga...