Langsung ke konten utama

Pengukuran faktor risiko psikososial di tempat kerja

Sebagian besar faktor risiko psikososial merupakan hal-hal yang tak kasat mata, dalam ilmu psikologi disebut sebagai variabel laten, yang artinya keberadaan maupun tingkatan dari berbagai faktor risiko psikososial tidak dapat diukur secara langsung. Jadi variabel laten diukur dengan melihat kepada beberapa indikator yang kasat mata, yang dapat diamati, disebut sebagai variabel teramati. Indikator sebaiknya lebih dari satu, karena jika hanya menggunakan satu indikator saja, maka tingkat  kepastian keberadaan variabel laten tersebut lebih rendah.

Instrumen untuk mengukur faktor risiko psikososial di tempat kerja disebut skala. Skala yang harus memiliki karakteristik psikometrika yang baik, yakni yang valid dan reliabel. Valid artinya instrumen tersebut mengukur apa yang ingin diukur, sedangkan reliabel artinya instrumen tersebut dapat dipercaya. 

Instrumen yang disebutkan dalam Permenaker nomor 5 tahun 2018 adalah survei diagnosis stres kerja. Instrumen ini hanya mengukur enam jenis stresor saja, yaitu:

  • Ketaksaan peran
  • Konflik peran
  • Beban berlebih kuantitatif
  • Beban berlebih kualitatif
  • Pengembangan karir
  • Tanggung jawab terhadap orang lain
Jika manajemen tempat kerja ingin mengukur sumber stres yang lain maka harus menggunakan skala yang sesuai. Beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk menilai faktor risiko psikososial di tempat kerja adalah:

  • Job content questionnaire (JCQ)
  • Copenhagen psychosocial questionnaire (COPSOQ)
  • Effort-reward imbalance questionnaire (ERI)
  • Job strain model questionnaire
  • Workplace stress indicator (WSI)
  • Short version of new brief job stress questionnaire (SV-NBJSQ)
  • The generic job stress questionnaire yang dikembangkan di USA oleh NIOSH
  • HSE indicator tool
Instrumen untuk penilaian faktor risiko psikososial yang sudah diadaptasi dalam budaya Indonesia oleh Program Studi Magister Kedokteran Kerja dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia antara lain:
  • Expanded nursing stress scale (ENSS)
  • Teacher stress inventory (TSI)
  • Occupational fatigue exhaustion recovery (OFER)
  • Swedish occupational fatigue inventory (SOFI)
  • Short version of new brief job stress questionnaire (NBJSQ)
  • Stanford presenteeism scale (SPS)
  • Four-dimensional symptom questionnaire (4DSQ)
Meskipun menggunakan instrumen yang sudah terbukti valid dan reliabel, tetap perlu melakukan uji validitas dan reliabilitas. Karena validitas dan reliabilitas instrumen mungkin berbeda pada populasi dan konteks yang berbeda, sehingga perlu diuji kembali untuk:
  • memastikan bahwa instrumen dapat digunakan secara tepat dan sesuai dengan tujuan penilaian yang spesifik
  • memastikan hasil yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan
Instrumen di atas dapat digunakan sendiri atau sebagai bagian dari penilaian yang lebih luas terhadap faktor risiko psikososial di tempat kerja. 

Tidak ada instrumen "terbaik" untuk menilai faktor risiko psikososial di tempat kerja.
Pilihan instrumen tergantung pada:
  • tujuan penilaian
  • populasi sasaran
  • lingkup faktor yang akan dinilai

Secara umum, stresor yang dihadapi pekerja dapat terdapat di semua tempat kerja, akan tetapi ada juga stresor yang hanya ada pada jenis pekerjaan tertentu misalnya perawat dan guru, oleh karena itu untuk perawat lebih cocok untuk menggunakan instrumen ENSS, sedangkan untuk guru menggunakan TSI. 

Untuk menilai kelelahan kerja tentu lebih tepat menggunakan OFER atau SOFI, sedangkan untuk mengukur presenteeism digunakan Stanford presenteeism scale (SPS). 












Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jumlah sampel minimum pengukuran pajanan di lingkungan kerja

Untuk membuktikan bahwa kadar pajanan di tempat kerja tidak melewati nilai ambang batas (NAB) kemungkinan akan memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit.  Dalam Permenaker nomor 5 tahun 2018 maupun Permenkes nomor 70 tahun 2016 tidak ada ketentuan mengenai jumlah sampel minimum. Dalam permenkes nomor 70 tahun 2016 hanya disebutkan bahwa jumlah sampel sebagai bagian dari proses pengukuran harus dilakukan sesuai dengan standar.  Jumlah sampel minimum menurut NIOSH cukup banyak seperti terlihat pada gambar di bawah ini.  Untuk mengurangi jumlah sampel minimum yang diperlukan, dapat dilakukan dengan strategi sebagai berikut: Membagi pekerja ke dalam  similarly exposed group  (SEG). Pengukuran pajanan personal dilakukan dalam 3 tahap: Tahap skrining Tahap uji kepatuhan kelompok Tahap uji kepatuhan individu Pada tahap skrining dilakukan tiga pengukuran pajanan personal  secara acak dari pekerja dalam SEG. Jika  ketiga pajanan kurang dari 0,1...
Penyakit/gangguan muskuloskeletal terkait kerja Muskuloskeletal maksudnya otot dan rangka. Menurut HSE, di Inggris, sekitar setengah juta pekerja mengalami penyakit/gangguan otot rangka terkait kerja (baik kasus baru maupun kasus lama) pada tahun 2015/16. Dan penyakit/gangguan otot rangka yang mempengaruhi kualitas hidup pekerja yang mengalaminya ini merupakan penyakit/gangguan terkait kerja yang jumlahnya banyak, sekitar 41% dari seluruh penyakit/gangguan terkait kerja. (https://t.co/DloQPGuwea).  Bagaimana dengan data di Indonesia? Di Indonesia belum ada data pasti mengenai penyakit akibat kerja. Tetapi diperkirakan persentase penyakit/gangguan muskuloskeletal terkait kerja hampir sama. Tetapi umumnya tidak dikenali. Mengapa? Karena seringkali keluhan pegal linu, nyeri, kram, baal, kesemutan dll setelah bekerja dianggap biasa. Pasien umumnya mengobati sendiri, kalaupun berobat ke dokter biasanya tidak terdiagnosis kaitannya antara keluhan pasien dengan pekerjaannya. ...

Variabilitas pajanan bahan kimia di tempat kerja

Pajanan bahan kimia pada pekerja di lingkungan kerja sangat bervariasi: dari hari ke hari dari satu pekerja ke pekerja lain dari satu kelompok pekerja ke kelompok pekerja lain.  Bahkan dalam satu shift kerja, pajanan bervariasi dari menit ke menit. Variasi ini terjadi akibat perubahan dalam faktor seperti: laju pembentukan kontaminan tingkat ventilasi aktivitas yang dilakukan oleh pekerja.  Variabilitas ini memengaruhi jumlah sampel yang dibutuhkan untuk sepenuhnya mengkarakterisasi variasi tersebut di atas dan kemampuan skema penilaian yang ada untuk membandingkan kelompok pekerja yang berbeda atau membandingkan pajanan terhadap nilai ambang batas (NAB).  Satu pendekatan yang dilakukan untuk menangani masalah variabilitas dalam pajanan pekerja adalah dengan mengelompokkan pekerja ke dalam similarly exposure groups (SEGs) , yang dapat dilakukan dengan: Pendekatan kualitatif Pendekatan kuantitatif Pendekatan kualitatif Pengelompokkan pekerja ke dalam SEGs dilakukan denga...